Polemik Kepemilikan B29: Solusi Berdasarkan Pendekatan Pariwisata, Sejarah dan Budaya Perlu

Puncak B29 by http://asli-jepret-lumajang.blogspot.com

Oleh MANSYUR HIDAYAT, SS, MM *)

Belakangan ini kita dihebohkan oleh diketemukannya sebuah wilayah yang sangat menakjubkan karena berada di ketinggian dengan alam mempesona yang kemudian di beri nama B29. Nama ini mengingatkan kita pada pesawat pembom andalan Amerika Serikat dalam perang dunia II yang juga digunakan dalam membawa bom atom yang kemudian meluluh-lantakkan Hiroshima dan Nagasaki yang membuat ratusan ribu bahkan jutaan orang tewas terpanggang dan jutaan lainnya harus menanggung dampak negatif dari kerusakan ekosistem lingkungan alamnya. Entah kebetulan atau tidak, nama B29 ini kemudian jadi perebutan 2 wilayah Kabupaten yang berdampingan yaitu Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Lumajang dimana keduanya seolah terlibat dalam perang dunia kedua.

Kita tentu saja harus banyak belajar tentang silang sengketa wilayah yang diperebutkan antar 2 negara seperti pulau Sipadan dan Ligitan antara Malaysia dan Indonesia, juga kepulauan Spratly antara china dan Filipina. Dalam perselisihan kedua Negara yang tapal batasnya tumpang tindih tersebut, seluruh kekuatan dan sumber daya yang ada diarahkan untuk saling berhadapan seperti sumber daya militer maupun masyarakat. Hal ini tentu saja menyedot perhatian satu sama lain sehinga menimbulkan pengaruh yang kurang baik diantara keduanya.

Perselisihan tapal batas kedua Negara ini tentu saja berbeda dengan perselisihan tapal batas 2 wilayah kabupaten yang bertetangga, karena kedua wilayah yang bersengketa tersebut mempunyai banyak kesamaan mulai dari geografis sampai budaya. Kesamaan geografis tentu saja berpedoman bahwa kedua belah pihak adalah sesama kabupaten yang berada di teritorial yang bernama Propinsi Jawa Timur dan mempunyai banyak kesamaan budaya yaitu "budaya Pendalungan". Perbedaan kedua belah pihak hanya satu yaitu, perbedaan administrasi yang kemudian menjadi mereka berbeda wilayah Kabupaten.

Dalam sejarahnya pada abad ke-14, Kabupaten Lumajang dan Kabuipaten Probolinggo tersebut pernah berada dalam suatu kerajaan bernama Lamajang Tigang juru, kemudian pada akhir abad ke4 kedua wilayah tersebut berada dalam wilayah kerajaan Majapahit bagian timur. Setelah jaman kerajaan Islam pada abad ke-16 sampai abad ke-18 wilayah ini kerap melakukan perlawanan terhadap ekspansi Demak dan Mataram kedua wilayah ini melakukan perlawanan terhadap kesultanan Demak dan kasunanan Mataram. Baru pada abad ke-18 kedua wilayah ini masuk dalam kekuasaan VOC dimana mula-mula keduanya berada dalam wilayah Regentschaap Pasuruan.

Pada awal abad ke-20 wilayah Kabupaten Lumajang sendiri masih termasuk dalam Afdelling Probolinggo dan baru pada tahun Januari 1929 Kabupaten Lumajang berdiri sendiri. Dari beberapa catatan sejarah tersebut; tidak mengherankan jika keduanya mempunyai banyak kesamaan dalam berbagai hal. Kesamaan ini sebenarnya adalah sesuatu yang positif dimana keduanya dapat menjalin kerja sama yang lebih erat nantiya. Namun dalam kenyataannya mengamati perkembangan masalah hak milik B29, hal ini seolah jauh panggang dari api.

Dalam perkembangan selanjutnya dua kabupaten yang merasa dekat wilayahnya tersebut saling berebut kepemilikan dengan argumentasi berdasarkan administrasi masing-masing. Hal seperti ini memang merupakan kewajiban 2 pemerintah kabupaten untuk membuat kejelasannya dimana hasilnya belum belum jelas. Sebenarnya permasalahan B29 haruslah dilihat dari sudut pandang pariwisata, sejarah dan budaya dimana permasalahan ini mencuat dikarenakan adanya pemberitaan tentang keindahan wilayah bernama B29 yang menakjubkan.

Dalam pendekatan ilmu pariwisata, kepentingan seorang pengunjung itu adalah yang utama. Karena pentingnya kenyamanan pengunjung tersebut maka sebuah daerah yang dijadikan kunjungan wisata mesti menyediakan berbagai fasilitas kepariwisataan baik yang disediakan oleh pemerintah seperti jalan raya, penerangan dan air bersih, warung makan, toilet umum, maupun yang disediakan oleh masyarakat home stay sampai pada seni pertunjukan. Tujuan dari penyediaan semua fasilitas ini tidak lain adalah kenyamanan pengunjung sehingga mereka akan datang kembali di waktu yang akan datang.

Pendekatan sejarah dan biasanya lebih di dasarkan pada perspektif waktu yang lebih mendalam (diakronis). Dalam pendekatan ini, permasalahan B29 harus dilihat sebagai dengan sudut pandang yang tidak terbatas pada masa kini, namun juga sudut pandang masa lalu yang telah berlangsung ratusan dan bahkan ribuan tahun. Kita melihat bahwa daerah Tengger adalah suatu daerah yang meliputi 2 gunung yang dianggap suci yaitu gunung Mahameru yang sekarang dikenal sebagai gunung Semeru yang merupakan gunung yang dianggap paling suci karena merupakan tempat bertahtanya Batara Syiwa dan juga gunung Bromo yang merupakan tempat bertahtanya Batara Brahma. Dalam kitab Tantu Pangelaran di ceritakan bahwa ketika tanah Jawa selalu berguncang maka diputuskanlah untuk memotong puncak gunung Mandara untuk dipindahkan ke tanah Jawa. Ketika membawa potongan tersebut ke tanah Jawa, puncak gunung Mandara ini kemudian tercecer menjadi gunung yang dianggap suci seperti gunung Katong (gunung Lawu), gunung Kampud (Kelud), gunung Pawitra (Penanggungan), gunung Wilis, Gunung Arjuna, sedangkan gunung Brahma (gunung Bromo) digunakan sebagai penopang gunung Semeru supaya tidak miring lagi.

Sumber tertulis yang menunjuk daerah Tengger ini adalah Prasasti Muncang yang ditemukan oleh tahun 1913di Dukuh Blandit, Desa Wonorejo, Singosari, Kabupaten Malang. Prasasti Muncang ini menyebutkan bahwa pada bulan Caitra tanggal 6 Suklapasa tahun 866 Saka (3 Maret 944 M) Sri Maharaja rake Hino pu Sindok Sri Isanawikramadharmottungadewa telah memerintahkan kepada rakryan i halu pu Sahasra dan rakai Kanuruhan pu Da, agar sebidang tanah yang terletak di sebelah selatan pasar di Muncang yang termasuk wilayah Hujung dijadikan sima serta dilepaskan dari kekuasaan wilayah Hujung kepada Samgat (...) Dang Acaryya Hitam. Demikian juga di Ranu Kumbolo ada sebuah prasasti. Prasasti yang berangka tahun 1182 Masehi dan bertuliskan "Dewa Pu Kameswara Tirtayatra" yang artinya Dewa Mpu Kameswara melakukan ziarah suci mencari air suci yang mengarah pada gunung Mahameru. Yang dimaksud dengan Dewa Mpu Kameswara adalah raja Kameswara dari Kediri yang mana melakukan perjalanan suci dengan membawa ribuan pasukan dan pengiring. Hal ini tentu saja harus dilayani oleh orang-orang yang berada di sekitar gunung suci ini yang dianggap sebagai keturunan dewa gunung yang kemudian dikenal sebagai orang Tengger (Mansur Hidayat: 2013). Disamping itu juga dapat ditemukan sebuah prasasti yang kemudian dijuluki Prasasti Walandit yang dikeluarkan pada tahun terjadi tahun 1303 Saka atau 1381 Masehi, dalam hubungannya dengan larangan menagih titileman (iuran untuk upacara ritual) di desa keramat atau terlarang Walandit dan sekitarnya.

Dalam pendekatan Budaya, perlu diketahui bahwa orang Tengger mempunyai dialek bahasa, kebiasaan sehari-hari maupun ritual keagamaan yang berbeda. Dalam budaya Tengger mereka mengidentifikasi dirinya sebagai keturunan Dewa gunung, aneka tata cara keagamaan itu biasanya dipimpin oleh seorang Dukun. Ada kesamaan budaya diantara orang Tengger baik yang berada di Malang, Pasuruan, Probolinggo maupun Lumajang dimana mereka sangat menghargai kebiasaan yang di wariskan secara turun temurun oleh leluhurnya. Kepatuhan terhadap budaya leluhur yang merupakan keturunan Dewa gunung ini dapat kita dapat lihat pada upacara Kasada dan Hari Raya Karo. (Sutarto: 1993)

Dengan 3 pendekatan utama ini, problem yang sekarang dihadapi oleh 2 Kabupaten yaitu Lumajang dan Probolinggo sedikit demi sedikit bisa diselesaikan. Pendekatan Pariwisata lebih mengedapankan kenyamanan pengunjung ketika tinggal di daerah wisata dengan membuat kesan yang baik yang kemudian menyebabkan pengunjung bisa datang lagi masa yang akan datang. Dalam pendekatan ini, siapapun yang berkepentingan terhadap kedatangan pengunjung harus mampu menyediakan fasilitas yang membuat pengunjung merasa nyaman. Silang sengketa masalah kepemilikan yang mengabaikan faktor-faktor kepariwisataan akan membuat pengunjung tidak nyaman dan tentu saja akan berpaling. Hal ini dapat dilihat pada studi kasus desa wisata Ranu Pani yang merupakan wilayah Kabupaten Lumajang dan merupakan pos utama untuk pendakian gunung Semeru. Dalam perkembangannya banyak wisatawan dan pendaki lebih memilih lewat Kabupaten Malang karena fasiltas jalannya lebih baik dari pada lewat Kabupaten Lumajang. Sementara itu pendekatan sejarah dan Budaya haruslah lebih diarahkan sebagai rancangan program jangka panjang dan tidak hanya spontanitas pada waktu kasus ini mencuat tetapi akan ditinggalkan ketika sudah dilupakan publik.

Dari beberapa hal diatas dapat diperoleh suatu pandangan awal dimana permasalahan B29 jangan hanya dilihat dari segi administrasi pemerintahan semata, namun juga harus dilihat dari sudut pandang pariwisata, sejarah dan budaya. Hal ini sangat penting untuk kepentingan masyarakat Tengger pada umumnya dan Argosari pada khususnya sehingga mereka dapat mengambil manfaat dan juga semakin dilibatkan dalam permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan mereka sendiri. Semoga ledakan B29 dapat menjadi ledakan yang positif dan bukan sebaliknya menjadi ledakan pembunuh seperti dalam kasus bom atom tahun 1945.


*) Ketua LSM Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur 

0 Response to "Polemik Kepemilikan B29: Solusi Berdasarkan Pendekatan Pariwisata, Sejarah dan Budaya Perlu "

Posting Komentar