Satu Kecamatan Satu Sentra Batik di Lumajang, Apa Kabarnya?
17 Juni 2014
/
Sentra batik sebenarnya sudah tumbuh di Lumajang sejak beberapa tahun lalu. Kecamatan Kunir misalnya. Kecamatan itu sangat terkenal sebagai sentra batik. Bahkan, batik tulis khas Kunir tersebut sempat masyhur di Lumajang.
Adalah Munir yang disebut-sebut sebagai pioner batik di Lumajang. Namun, setelah puluhan tahun menekuni industri tersebut, Munir tidak mampu lagi eksis. Industri kerajinan batik lalu dilanjutkan oleh dua mantan anak buahnya, Sutrisno dan Supri.
Sadar bahwa potensi batik bisa digenjot lagi, Pemerintah Kabupaten Lumajang pun meletupkan program satu kecamatan satu sentra batik.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Lumajang, Agus Eko mengatakan, program tersebut saat ini sedang diproses. Dia menyebut, setidaknya dari 21 kecamatan di Lumajang, sudah ada 13 kecamatan sentra batik. Di antaranya, Yosowilangun, Kunir, dan Tempeh. Bahkan, dalam waktu dekat, dia sudah ada tambahan empat sentra batik kecamatan. "Karena sudah dilatih," ungkapnya.
Untuk merealisasikan program tersebut, Disperindag menggelar sejumlah pelatihan. Pelatihan awalnya membidik sejumlah pembatik pemula, atau bahkan mereka yang sama sekali belum paham tentang batik. Mereka dilatih untuk mempunyai keterampilan membatik.
Beberapa pelaku industri batik juga disasak. Mereka juga diberikan pelatihan membatik. Namun, bukan tekhnik dasar lagi. Melainkan pelatihan manajemen, perwarnaan batik, dan motif. Agus mengaku, biar para pembatik Lumajang tidak melulu mempunyai motif pisang.
Di Randuagung misalnya. Dia mengaku kawasan tersebut banyak bambunya. Motif bambu juga dikenalkan biar lebih mengangkat kecamatan tersebut. "Motif lain juga banyak dikenalkan," tambahnya.
Pemerintah juga membuat kebijakan agar potensi batik di Lumajang bisa dikenal, minimal di Lumajang sendiri. Salah satunya adalah kebijakan Bupati agar para PNS di jajaran Pemkab Lumajang menggunakan batik setiap Rabu, Kamis dan Jumat. "Rabu-Kamis untuk batik Lumajang, Jumat batik bebas," ungkapnya.
Kebijakan tersebut diklaim oleh Eko untuk meningkatkan industri batik di Lumajang. Sentra-sentra batik kemudian bisa hidup dengan cara seperti itu. Sebab, kebijakan bupati tersebut mengharuskan batik Lumajang.
Namun, kebijakan satu kecamatan satu sentra batik disebut masih setengah hati. Pemerintah terkesan belum bersungguh-sungguh untuk menciptakan satu sentra batik di setiap kecamatan. "Masih setengah-setengah," kata Johan Adi Sanjaya pelaku kerajinan batik.
Johan membenarkan sudah ada pelatihan-pelatihan yang dilakukan untuk menciptakan sentra batik di kecamatan. Namun, kedaulatan batik tidak hanya sekedar menggelar pelatihan. Apalagi, semangatnya masih proyek.
Selama ini, kata dia, pemerintah hanya sebatas melakukan pelatihan semata. Setelah dilatih, mereka tidak lagi berbuat apa-apa. Padahal, agar batik berdaulat di Lumajang, pelatihan saja tidak cukup.
Dia juga mengatakan, Pemkab Lumajang juga tidak bisa berbuat apa-apa ketika batik sablon masuk. Bahkan, beberapa SKPD juga menggunakan batik jenis tersebut. "Padahal, batik tersebut bukan berasal dari Lumajang," ungkapnya. Pemerintah yang dianggapnya tidak tegas akan membuat batik tulis di Lumajang mati dengan perlahan. Sebab, batik jenis tersebut harganya lebih murah.
Padahal, jika ingin batik berdaulat di negeri sendiri, dia mengatakan harus ada fasilitasi dari pemerintah, promosi, dan proteksi. Fungsi fasilitasi dan proteksi murni menjadi domain pemerintah.
Fasilitasi pemerintah, kata dia, tidak melulu soal modal. Bahkan kalau soal modal bukan masalah besar bagi para pembantik. Asal difasilitasi oleh pemerintah seperti pasar, maka batik Lumajang akan berdaulat.
Pemerintah juga harus melakukan proteksi terhadap batik di Lumajang. Kebijakan memakai batik Lumajangan untuk seragam pemkab, disebutnya sebagai bentuk fasilitasi pemerintah bagi batik Lumajang. Namun, pemerintah juga harus melakukan proteksi. "Jangan sampai batik sablon jadi seragam juga. Padahal batik tersebut didatangkan dari luar," kritiknya.
Soal batik sablon, Agus Eko, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Lumajang, mengaku tidak mungkin untuk melarang. Dia menyebut, itu sudah masuk ranah persaingan usaha. Dia juga mengatakan bahwa batik sablon juga sudah ada yang memproduksi di Lumajang.
Namun, dia optimistis perlahan batik tulis Lumajang akan bisa bersaing. Dari segi kualitas, batik sablon masih jauh dari batik tulis. Masyarakat akan dengan sendirinya memilih mana yang terbaik. "Kalau soal kualitas (batik sablon) kalah jauh dengan batik tulis," tegasnya.
Kedaulatan batik di Lumajang, sebut Johan, masih menjadi mimpi. Sebab, kebutuhan batik ternyata masih di pasok dari luar. Meskipun sejumlah sentra batik di Lumajang sudah banyak ditemukan. "Batik Lumajang masih belum menjadi kebanggan masyarakat Lumajang," ungkapnya.
Dia menambahkan, potensi batik di Lumajang luar biasa. Potensi ekonomi tersebut, jika dikelola dengan baik maka akan bisa membuat masyarakat Lumajang berdaulat secara sandang. "Sering kita dengar, kita sudah berdaulat. Tapi baju yang kita pakai masih dari luar," sindirnya.
Batik, kata dia adalah produk lokal yang berbasis pada budaya. Karena itu, dia yakin batik tidak akan pernah dikuasai oleh kapitalisme global. Sebab, basis budaya pada batik menjadi pengikatnya. "Tapi, tetap harus kita jaga," pintanya.
Untuk menjaga kedaulatan batik, kata dia maka pemerintah harus turut serta menjaganya. "Pemerintah harus menjaga kedaulatan batik Lumajang di wilayahnya sendiri," kata Johan, kemarin. Dengan mendorong kedauatan sandang tersebut, tambah dia, maka akan berpengaruh terhadap kesejatehraan masyarakat. Sebab, akan banyak masyarakat yang akan dilibatkan dalam proses tersebut.
0 Response to "Satu Kecamatan Satu Sentra Batik di Lumajang, Apa Kabarnya?"
Posting Komentar