Kisah Pasangan Soetatik dan Zaini

Kisah Pasangan Soetatik dan Zaini

Bisa Kuliah karena Arisan


Kokok ayam menggoda sekali sore itu. Ketawanya khas. Semakin diperhatikan semakin membuat gemas.

“Ayam ketawa itu peliharaan Bapak," suara perempuan memecah suasana. Dra Soetatik MPd sang empunya rumah tiba-tiba muncul. "Bapak suka pelihara binatang. Kalau saya suka ke tanaman.

Tanaman di sini saya sendiri yang nanam," lanjut perempuanparuh baya itu sembari menunjuk taman di depan rumahnya.

Tak berselang lama, lelaki paruh baya ikut nimbrung. Lelaki itu adalah Zaini suami Soetatik. "Ada beberapa ayam, serama, ketawa, ada juga bangkok. Kalau ibu suka bunga," katanya menimpali.

Begitulah. Soetatik selalu berusaha menikmati betul rumahnya. Filosofi rumahku surgaku dipegang betul. Diterapkan dalam langkah hidupnya sehari-hari. Dia boleh sibuk. Tapi, rumah adalah segalanya bagi Soetatik. Dan, semua beban bertumpuk harus dia enyahkan ketika kaki sudah mulai menginjakkan kediamannya di bilangan Arjuna Lumajang itu.

Sehari-hari, Soetatik adalah kepala SMKN 1 Lumajang. Sebuah sekolah kejuruan yang reputasinya tak boleh dibilang main-main. Dengan tangan dinginnya, sekolah ini semakin melejit. Dan kini, Soetatik mendapat amanah tambahan sebagai koordinator Akademi Komunitas Negeri Lumajang. Sebuah rintisan perguruan tinggi negeri di Lumajang.

Bicara beban, sudah pasti pekerjaan Soetatik semakin bertumpuk. Pikirannya pun acap dipaksa bercabang-cabang. Namun, Soetatik tetap bisa fokus. Dia tetap sigap menakhodai SMKN 1 Lumajang dan tetap getol merintis perguruan tinggi negeri.

Rumahnya pun tetap dalam kendalinya. Jauh dari berantakan. Tak sekadar urusan menu, tata rumah bahkan sampai taman pun masih sempat dia perhatikan. Tak heran jika rumah sederhana itu semakin kelihatan auranya.

Tentu, semuanya bukan barang instan. Sejak kecil Soetatik sudah biasa multitasking. Biasa menangani setumpuk pekerjaan dalam waktu bersamaan.

Berasal dari keluarga pas-pasan, Soetatik kecil sangat terbiasa dengan tetek bengek urusan rumah. Seluruh pekerjaan rumah dia bereskan. Mulai dari bersih-bersih rumah, memasak, momong adik-adiknya, hingga melayani kedua orang tuanya. "Saya sempat protes ke ibu. Kok saya tok yang disuruh," kenangnya.

Apa jawaban sang ibu? Soetatik diwejang untuk tidak mudah mengeluh. Sebab, apa yang dia kerjakan itu sejatinya bukan untuk orang lain. Tapi, untuk dirinya sendiri "Karena nanti yang berhasil adalah kamu sendiri," kata Tatik menirukan ucapan ibunya kala itu.

Diapun lantas belajar ikhlas. Sejak saat itu Tatik tidak pernah protes. Bahkan, semakin rajin mengerjakan pekerjaan rumah. Kerasnya hidup bukan setahun dua tahun dialami Soetatik. Hingga remaja pun dia masih acap menerima kenyataan pahit.

Bahkan, dia sempat nyaris gagal kuliah. Keinginannya yang menggebu-gebu untuk melanjutkan ke perguruan tinggi selepas SMA harus terbentur oleh ketidakberdayaan ekonomi. "Ketika itu saya sempat memaksa ke bapak untuk di sekolahkan ke perguruan tinggi. Namun bapak saya hanya diam karena memang tidak ada biaya," kata Tatik.

Tapi, kala itu Soetatik tetap yakin bisa kuliah. Hingga, dia pun nekat mendaftar dan mengambil jurusan Sastra Indonesia di IKIP Negeri Malang. "Saya ikut ujian dan bisa masuk. Tapi, uang daftar ulang tidak ada. Saya pun hanya pasrah dan meminta kepada Allah," katanya.

Orang tua Soetatik bukannya tak berusaha. Namun, semua upayanya belum berhasil. Harapan terakhir adalah uang arisan.

Ya, kala itu Choisyiah, ibunda Soetatik, ikut arisan di kampung. Dia lantas menyuruh Tatik untuk menghadiri arisan itu. "Coba kali ini kamu yang hadir. Siapa tahu Allah menjawab doamu," kata Choisiyah kepada Tatik kala itu.

Meski kagok, Tatik berusaha tetap percaya diri. Di antara ibu-ibu yang lain, Tatik hanya bisa diam. Sesekali mulutnya komat-kamit. Tatik merapal doa, agar ibunya dapat arisan. Hatinya semakin tidak karuan saat arisan dikocok. Dagdigdug harap-harap cemas. Soetatik serasa lemas begitu mendengar suara bukan nama ibunya yang disebut, tapi orang lain. "Saat itu saya langsung lemas. Berarti saya tidak bisa kuliah," katanya.

Namun Tuhan menunjukkan kuasa-Nya. Tiba-tiba datang seorang peserta. Dia langsung protes, karena arisan dikocok sebelum dia datang. Protes itupun kemudian dan disepakati kocok ulang. "Alhamdulilah, nama ibu saya yang muncul. Saya langsung menangis di tempat arisan, berterima kasih kepada Tuhan," katanya.

Riwayat itu begitu dikenang oleh Soetatik. Hingga, dia pun tak mau sedikitpun lengah menghadapi hidup. Dia yakin, semua pasti ada jalan. "Sesulit apapun, asal kita sungguh-sungguh Insya Allah ada jalan," katanya.

Selepas kuliah, Soetatik memilih mandiri. Dia meninggalkan kota kelahirannya Pasuruan dan merantau ke Lumajang menjadi guru sukwan. Untuk menambah penghasilan dan pengalaman, Tatik juga menyempatkan diri mengajar di beberapa sekolah.


Tanggal Tua Lauknya Kerupuk


Jangan bayangkan rumah tangga Soetatik langsung semulus sekarang. Cinta Soetatik kepada Zaini sempat membentur tembok. Orang tuanya sempat menolak Zaini. Bukan apa-apa. Hanya gara-gara Zaini adalah seorang anggota polisi. ''Tidak setuju karena bapak ini Polisi," kata Soetatik.

Soetatik mengaku, ketertarikannya kepada Zaini karena ketaatannya menjalankan ibadah. "Bapak ini rajin salat. Bagi saya sudah cukup. Saya ingin mendapat suami yang rajin ibadah. Saya tidak melihat apakah dia ganteng atau berpangkat. Saya hanya melihat ibadahnya kuat berarti lelaki itu juga bertanggungjawab," katanya.

Alasan itu dia utarakan ke ayahnya. Keseharian Zaini juga dia ceritakan ke ayahnya. Namun, tetap saja sang ayah tidak setuju.

Namun tak mudah meyakinkan ayahandanya. Tetap saja dia tidak percaya kepada calon mantunya itu. Tak kurang akal. Karena sudah kadung cinta, Soetatik mencoba mencari jembatan. Dia hubungi keluarga yang lain dan meminta tolong untuk meyakinkan ayahandanya. Kebetulan, kala itu adiknya hendak menikah. Dan, sebagian keluarga ada yang menyarankan hendaknya Soetatik dulu yang menikah. "Kata orang Jawa jangan nglangkahi,” katanya.

Ibarat pepatah, kalau sudah jodoh tak akan lari kemana. Ayahanda Tatik pun akhirnya setuju anaknya dinikahi seorang anggota polisi.

Usai menikah, persoalan lain menghadang. Penghasilan Zaini yang kala itu masih berpangkat rendah tak cukup untuk membiayai hidup mereka berdua.

Penghasilan Soetatik yang hanya guru sukwan juga tak banyak membantu. Mereka berdua harus hidup di kos-kosan bertahun-tahun. "Sering makan sepiring berdua, tapi tambah romantis," kenang Soetatik.

Jika sudah tanggal tua, bisa dipastikan, lauk yang ada hanya kerupuk. "Mau gimana lagi wong gaji tidak cukup," ungkapnya.

Bertahun-tahun. Lolos dari kos-kosan, Soetatik dan Zaini hanya bisa ngontrak. Pindah tempat tinggal sudah menjadi pekerjaan rutin. Hingga suatu ketika, mereka berdua bisa membeli tanah di jalan Arjuna yang kini ditinggalinya.

Belum sempat dia bangun rumah di tanah yang dibelinya, Soetatik dan Zaini harus menghadapi kenyataan pahit. Rumah kontrakannya tak boleh diperpanjang. Dan, dia harus segera pindah. Tidak ada pilihan lain kecuali nekat menempati tanah di jalan Arjuna. "Kami jual motor untuk bangun kamar. Begitu selesai kami langsung pindah kesana meski tak ada listriknya," kata Zaini.

Kini, rumah itu sudah berdiri kokoh. Meski tak bisa dibilang megah, Soetatik dan Zaini banyak mengukir kisah dari rumah itu. Saling isi dan berbagi. Kehadiran dua buah hatinya, Zulfan Wasistantoko dan Arsi Dwi Saptoaji semakin menambah semangat. Karir suami istri itupun semakin menanjak.

Kini, di usianya yang semakin bertambah, karir Soetatik bukannya meredup, justru kian moncer. Kedua anaknya kini juga sudah mulai mandiri. "Anak pertama sudah bekerja dan menikah. Saya juga sudah punya dua cucu," katanya.

Tatik mengaku, dalam membimbing anak, dia selalu menggunakan pendekatan hati. Selain itu juga menggunakan pendekatan ahlak. "Saya tidak pernah meminta anak untuk menjadi lebih. Saya hanya minta kepada anak-anak saya agar jangan pernah meninggalkan salat," katanya.

Pendekatan ini juga dia terapkan di sekolah. Bukan saja kepada guru namun juga kepada anak didiknya. Tatik tidak pernah menggunakan emosi dalam memimpin, namun dia memilih pendekatan hati. "Kalau ada yang salah, saya tidak langsung marah. Namun yang bersangkutan saya panggil untuk bicara bersama. Alhamdulillah semua masalah itu bisa teratasi," kata Tatik.

0 Response to "Kisah Pasangan Soetatik dan Zaini"

Posting Komentar