Kisah Pasangan Kecik Herniadi & Lilik Leginawati

Kisah Pasangan Kecik Herniadi & Lilik Leginawati

Seniman Yang Nasionalis


Tak banyak seniman seperti Kecik Herniadi. Pria asli Lumajang ini termasuk salah satu seniman yang idealis. Dia tak mau menggadaikan kemampuannya hanya sekadar untuk membuat kantongnya semakin tebal.

Kecik Herniadi punya kemampuan langka. Dia lihai merangkai kertas-kertas bekas. Kertas-kertas itu dia daur ulang dan disulap menjadi karya seni yang indah. Kemampuannya itu sudah dikenal seantero negeri. Bahkan, sudah diakui oleh Malaysia. Dia juga sempat diminta untuk menularkan kemampuannya itu ke negeri jiran tersebut. Namun, dengan alasan nasionalisme Kecik tegas menjawab: Tidak!

Jangan tanya berapa duit yang akan mengalir jika dia menerima tawaran tersebut. Kecik sudah bulat, tak akan menukar jiwa nasionalisme-nya hanya dengan lembaran ringgit Malaysia.

Bukannya tak butuh uang. Tapi, alasan Kecik jelas. Sudah banyak contoh budaya negeri ini diklaim oleh negeri tetangga itu. Contohnya adalah reog. "Dulu orang kita didatangkan ke sana untuk melatih, sekarang mau main klaim reog itu budaya Malaysia," katanya.

Bagi Kecik, kemajuan dan kelestarian seni dan budaya di negeri sendiri jauh lebih penting. Haram baginya memiliki kreativitas kemudian menularkan untuk negara asing. Lebih-lebih, karya seninya ini boleh dibilang orisinal. Belum banyak seniman yang mengembangkannya.

Kecik lantas mengisahkan, tawaran itu datang pada 2006. Saat itu dia mendapatkan amanah untuk mewakili Indonesia dalam pertukaran pelajar Malaysia-Indonesia. Selama satu minggu, di kerajaan Selangor, Malaysia dirinya melihat berbagai kesenian. Dia yang kala itu menjadi wakil Indonesia memperlihatkan karya-karyanya berupa kirna atau ukiran lunak. "Saya tunjukkan pada mereka jika sampah bisa menjadi karya dan harta karun," tegasnya.

Melihat hal tersebut, rupanya pihak Malaysia tertarik dengan kemampuannya itu. Rupanya, mereka ingin mengembangkan karya ukir berbahan dari kertas-kertas daur ulang itu. "Katanya itu luar biasa. Dan mereka ingin belajar," katanya.

Saat itu, Kecik langsung ditawari kontrak dua tahun. Jika kontrak itu diambilnya, maka dia bisa mendapat 100 ringgit Malaysia. Ketika itu, jika dirupiahkan sekitar 250 ribu sehari. Belum lagi fasilitas-fasilitas serba wah yang ditawarkan. "Uang segitu saat itu sangat besar," terangnya.

Namun dengan tegas dirinya menolak tawaran tersebut. Dalam darahnya, ada mengalir rasa nasionalisme yang kuat. Sehingga pria kelahiran Lumajang 53 tahun silam itu tanpa pikir panjang menolak.

Baginya, menolak tawaran itu adalah bentuk nyata kecintaannya pada negeri dan tanah kelahirannya. Tidak ada kebanggan yang timbul di hati seniman ini, ketika mengajarkan ilmu dan memintarkan warga negara lain. "Saya lebih memilih ngajari anak-anak negeri di Lumajang," katanya.

Setelah menolak kontrak yang diajukan Malaysia, dia memilih kembali ke Lumajang. Di rumahnya di bilangan Ahmad Yani No 2, selain terus berkarya, Kecik memilih mengabdi sosial. Lebih dari 40 anak-anak setiap minggunya belajar seni Kirna di rumahnya.

Kecik tidak mau menyebut kegiatan itu sebagai kursus formal. Forum itu lebih dinamainya belajar seni. Dalam pembelajaran itu, dirinya tidak memberikan tarif. "Seikhlasnya saja kalau memberi. Itu pun sebagai uang kas bukan untuk saya pakai," tegas Kecik.

Kesabarannya dan kemahirannya dalam seni itu, membuatnya semakin banyak dikenal. Bahkan dirinya sempat diundang ke Jakarta untuk sebuah acara di televisi swasta sebagai pembicara. Usai tampil di TV tanpa disangkanya dia dihadiahi uang Rp 25 juta untuk membangun sanggar dari salah satu perusahaan yang menjadi sponsor. Sanggar itulah yang kini dia gunakan untuk menularkan kemampuannya pada anak-anak.

Hingga kini sanggar itu eksis dan makin ramai. Tidak hanya anak-anak lumajang. Seringkali sanggarnya yang berdampingan dengan rumahnya itu dikunjungi oleh mahasiswa. "Kebanyakan mahasiswa dari Jember" tegasnya.

Sering pula sanggarnya dijadikan penelitian. Semua dia sambut dengan lapang dada. Yang ada dalam benaknya hanya bagaimana menanamkan kesenian pada generasi muda bangsa.

Kisah Pasangan Kecik Herniadi & Lilik Leginawati

Selalu Ada Doa Istri


Cinta bagi Kecik Herniadi adalah sebuah ungkapan rasa. Kekuatan cinta dapat memberikan energi dahsyat. Karya-karyanyapun banyak dipengaruhi oleh kekuatan cinta itu. Pun dalam membina rumah tangganya hingga awet dan kini menginjak 31 tahun usia pernikahannya. "Saya sama istri terpaut 10 tahun. Tapi kami tidak pernah banyak masalah," terang suami Lilik Leginawati itu.

Kecik memang dilahirkan untuk seni. Sejak kanak-kanak, darah seninya itu sudah terlihat. Saat dia SD bakat seninya itu semakin terlihat menonjol. Dan, semakin menjadi-jadi ketika dia masih berstatus sebagai siswa Sekolah Teknik Mesin (STM) Malang. Ketika lulus, dia langsung membelokkan jalan hidupnya. Semua dia dedikasikan untuk seni.

Kekuatan insting seninya, tidak lantas pupus ketika dia memutuskan menikah. Justru kegandrungannya dalam bidang seni semakin berkembang usai dia meminang Lilik Leginawati. Rupanya, perempuan asli Pasirian itu mengerti dan mendukung betul pilihan hidup suaminya.

"Saya beruntung sang istri juga mendukung bakat seni saya" ungkapnya.

Kecik pun semakin merasa menemukan jalan hidupnya. Dua pasangan selalu mendukung tanpa pernah saling merecoki. Terpaut usia 10 tahun tak pernah jadi soal. "Kami selalu saling mengingatkan. Saling mendorong. “Jadi pasti ada jalan keluar untuk segala pemasalahan,” tegasnya.

Kecik pun juga merasa menjadi semakin sabar usai menikahi Lilik. Kesabarannya itu diakui sang istri. Lilik mengaku, sejauh ini suaminya itu tak pernah marah. Justru dia mengaku, dirinyalah yang lebih banyak marah.

Dalam hal kesenian, Lilik mengaku men-support penuh suaminya itu. Saat sang suami membuat sebuah seni rupa, misalnya, dia tak pernah mengusik. Pun ketika suaminya pergi jauh untuk urusan berkesenian dia tak pernah cerewet. "Ketika suami pergi untuk berkesenian saya selalu mendampingi dengan doa. Selalu ada doa untuk Bapak," kata Lilik.

Kini, Kecik dan Lilik mulai banyak berpikir untuk berbuat bagi warga Lumajang, khususnya. Hingga, mereka berdua dirinya mencetuskan rumah belajar seni berupa sanggar Seni Kirna. Lewat sanggar itu, Kecik mengaku ingin memberi hadiah bagi negeri. Dia ingin menularkan seluruh ilmu yang dimilikinya tak hanya ke anak-anak Lumajang, tapi seluruh negeri.

"Banyak yang belajar kepada saya. Dan itulah yang menjadi kebanggaan saya. Sebab dapat mengajari anak-anak negeri tentang seni," paparnya.

Kecik melabeli karya dan sanggarnya itu dengan sebutan Seni Kirna. "Kirna itu diambil dari kata-kata ukiran lunak," terangnya.

Ukiran lunak yang dimaksud adalah seni membuat berbagai bentuk karya seni yang bahannya dari kertas-kertas daur ulang. Contoh karyanya banyak dijumpai di rumahnya. Misalnya, karya yang dia beri judul Sampahku, Karyaku, Harta Karunku.

Kecik menjelaskan, awal kali dirinya menemukan ide itu, ketika melihat bebagai karya seni. "Lantas dalam benak saya, ada niatan untuk membuat sesuatu yang berbeda," tegasnya. Akhirnya tercetuslah karya seni rupa yang terbuat dari bahan-bahan daur ulang atau sampah.

Karya seni itulah yang hingga kini di kembangkannya. Untuk melindungi hak paten, dirinya sempat mengurus hak paten untuk nama Kirna. Namun bukan untuk satu produk, melainkan untuk hasil ukiran lunaknya.

Kecik mengaku, mengurus hak paten bukan untuk urusan kepentingannya sendiri. Namun, dia ingin budaya yang muncul dari Indonesia nanti diaku negara lain. Sehingga kecintaannya pada tanah airlah yang membuatnya untuk mengurus paten tersebut.

0 Response to "Kisah Pasangan Kecik Herniadi & Lilik Leginawati"

Posting Komentar