Fenomena Pengemis yang Masih Bertebaran di Lumajang

Fenomena Pengemis yang Masih Bertebaran di Lumajang

Gelandangan dan pengemis sudah menjadi fenomena di Lumajang. Mereka beroperasi di tempat-tempat keramaian. Ada yang di lampu merah, ada juga di pasar-pasar. Belakangan, mengemis sudah dijadikan pekerjaan. Jelang Ramadan, ada indikasi jumlah pengemis bertambah banyak.

Namanya singkat saja: Usman, Saban hari, dia bisa mangkal di perempatan lampu merah. Lokasi favortinya adalah perempatan taman toga. Baginya, mengemis adalah pekerjaan. Dalam sehari, minimal Rp 50 ribu dia kantongi.

Lampu merah taman toga memang menjadi salah satu tempat favorit bagi pengemis. Padatnya arus lalu lintas di kawasan tersebut menjadi salah satu alasan. Lampu merah di tempat itu menyala dalam interval satu menitan. Saat lampu merah menyala itulah Usman beraksi.

Usman rupanya tahu betul potensi di kawasan tersebut. Dengan baju putih lusuh, dia mendatangi satu persatu para pengguna jalan. Tangannya menadah dengan badan sedikit membungkuk. Ucapan terima kasih selalu dia ucapkan ketika para pengguna jalan memberikan rupiahnya. "Tapi, kalau tanggal tua, sepi," katanya lalu terkekeh.

Lain lagi jika tanggal muda. Pria asal probolinggo itu mengaku sering mendapatkan uang dalam amplop. Dia mengaku sangat girang dan pengin segera menepi ketika mendapat amplop. “Pengen cepel-cepetbuka," ucapnya polos.

Kalau tanggal muda, Usman mengaku bisa dapat minimal Rp 200 ribu sehari. "Tapi juga tidak sering-sering amat dapat amplop," katanya. Usman mengaku memilih mengemis karena terpaksa. Diusianya yang sudah senja, dia mengaku ingin memberi uang setiap ada cucu dan cicitnya datang ke rumah. "Kalau nggak begini, mau dapat uang dari mana," ungkapnya.

Pekerjaan tersebut dia lakukan secara sembunyi-sembunyi. Kepada keluarganya, dia mengaku bekerja sebagai tukang parkir. Ketika harus bermalam, dia harus menyiapkan alasan agar keluarganya menerima. "Anak-anak saya tidak tahu," katanya.

Sulihati, Kasi Rehabilitasi Sosial Kantor Sosial mempunyai cerita yang sama. Tidak jarang, para pengemis secara ekonomi sudah mampu. Dia menceritakan ada pengemis asal Lumajang yang sampai merambah luar pulau. Tepatnya di Kalimantan.

"Di sana, kerjanya mengemis," kaca perempuan berjilbab tersebut. Dia mengaku hafal betul kepada pria yang tinggal yang Kelurahan Jogoyudan tersebut. Alasannya, sudah sering dilimpahkan ke kantor ketika ada pemulangan dari luar Jawa.

Dia mengatakan, pria yang sudah berumur tersebut secara ekonomi sudah sangat cukup. Bahkan rumahnya lantai dua. Ekonomi anak-anaknya juga sudah mapan semua. "Orangnya memang bandel," kata Sulihati yang enggan membuka identitas pengemis tersebut.

Bahkan, semua keluarga sudah melarang untuk menjadi pengemis. Istrinya bahkan sampai malu mau menemui staf dari kantor sosial. Anak-anaknya juga marah besar karena prilaku orang tuanya tersebut. "Sampean itu tinggal mangan ndek omah," kata Suliha menirukan omelan keluarga pengemis.

Kepala Kantor Sosial, Imam Suhadi membenarkan kalau mengemis sudah menjadi pekerjaan. Bahkan, dia mengatakan penghasilan pengemis bukan lagi ratusan, tapi jutaan. "Setiap razia, hasilnya bukan ratusan. Tapi jutaan," ungkapnya.

Bahkan, pengemis yang membawa serta anak kecil disebutnya sudah membohongi masyarakat. Sebab, anak tersebut bukan anaknya sendiri. "Mereka menyewa atau pinjem anak kecil untuk di eksploitasi," ungkapnya.

Karena hasil yang menjanjikan tersebut, dia mengaku mengemis sudah menjadi pilihan pekerjaan yang praktis. Selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga untuk memenuhi kebutuhan lainnya. "Ada yang dibuat untuk beli televisi, dan cicilan sepeda motor," ucapnya.

Djohari Irianto, aktivis sosial di Lumajang mengatakan, pernah melakukan pendataan yang dilakukan oleh pemprov dan sejumlah perguruan tinggi negeri. "Itu pendataan se Jawa Timur" kata pria yang saat ini menjadi koordinator Program Keluarga Harapan (PKH) Kabupaten Lumajang.

Pendataan yang dilakukan pada 2011 tersebut menyebutkan ada 25 gelandangan di Lumajang. Sementara untuk pengemis ada 120. Pendataan tersebut adalah by name dan by addres. "Juga difoto dan cap jari," katanya.

Soal validitas, dia mengaku data tersebut sangat valid. Karena surveyor-nya harus bertatap muka langsung. Namun, jumlah tersebut disebutnya seperti fenomena gunung es.

Dia mengaku sangat mungkin jumlah sebenarnya lebih besar. Sebab, surveyor se Kabupaten Lumajang hanya ada lima orang waktu itu. Sehingga, tidak mungkin mampu meng-kaver semua desa di Kecamatan Lumajang.
Belum lagi, dia mengaku hanya diberi waktu satu bulan untuk melakukan servei tersebut.

Dia mengaku tercengang ketika turun langsung ke kantong-kantong pengemis. Dia menyebut, sudah ada perubahan paradigma pengemis. Dulu, mereka yang mengemis adalah mereka yang benar-benar tidak mampu. "Sekarang, mengemis sudah menjadi pekerjaan," ucapnya.

Dari hasil wawancara dengan para pengemis, dia menyebut mayoritas mereka yang terjun ke dunia itu tidak mau mentas lagi. Sebab, penghasilan per hari antara Rp 50 ribu hingga 80 ribu. Jika hari-hari tertentu, seperti Jumat misalnya, hasilnya bisa dua kali lipat.

Kerja sebagai buruh saja, kata dia sulit untuk mendapatkan pendapatan per hari seperti itu. Sehingga, para pengemis tersebut lebih memilih untuk tetap bekerja sebagai pengemis. Menurut mereka, lebih menguntungkan.

Terkait usia, dia juga tidak didominasi oleh manula. Banyak pengemis sekarang ini yang muda-muda, atau hahkan anak-anak. "Ini yang harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah," ungkapnya.

Minimal, langkah awal yang dilakukan oleh pemerintah adalah pendataan terlebih dahulu. Model pendataan seperti provinsi dianggapnya paling ideal. Sebab selain nama dan alamat, juga harus ada cap jari. Tujuannya agar tidak ada data ganda.

Selain itu, menjelang Ramadan seperti saat ini, potensi ledakan pengemis dadakan sangat mungkin. Mereka rata-rata memanfaatkan bulan mulia itu karena banyak masyarakat yang hendak beramal.

0 Response to "Fenomena Pengemis yang Masih Bertebaran di Lumajang"

Posting Komentar