KOMPAK BERSAMA: Di Senduro. warga yang berbeda suku, agama dan ras hidup rukun berdampingan. Masyarakatnya tetap damai dan santun bahkan saling bantu dalam berbagai proses hajatan di masyarakat. |
Inilah Indonesia kecil itu. Beragam budaya, tradisi dan agama berjajar. Hidup rukun berdampingan. Harmonis penuh tolerasi.
Itulah Senduro. Sebuah kecamatan kecil di Lumajang. Letaknya di kaki Semeru, dengan total luas wilayah 228,67 kilometer persegi.
Letak kecamatan ini sekira 20 meter dari pusat Pemerintahan Lumajang. Ada 47.747 penduduk yang bermukim di sana. Dari sekian banyak penduduk, ada yang memeluk agama Islam, Hindu dan Kristen.
Tiga agama itu, secara berdampingan dan hidup rukun di daerah dengan rata-rata ketinggian 500-700 meter tersebut. Masyarakatnya damai dan santun. Bukan hal asing jika mereka selalu berbaur bahkan saling bantu dalam berbagai proses hajatan di masyarakat.
Di Senduro, pemeluk ketiga agama itu bisa dibilang sama-sama besar. Memang, jumlah penduduk yangberagama Islam sedikit lebih banyak. Namun, bukan berarti mereka mendominasi.
Masjid memang bertebaran. Gereja pun banyak dijumpai. Bahkan, kecamatan ini memiliki sebuah pura yang amat legendaris. Yakni, Pura Mandara Giri Semeru Agung. Sebuah pura Hindu tertua di wilayah Asia Tenggara. Dan, pura ini diyakini memiliki banyak tuah. Tak heran jika pura ini selalu ramai. Ribuan masyarakat Hindu dari berbagai penjuru hadir di pura ini. Puncaknya, setiap hari jadi pura, ribuan umat Hindu tumpah ruah di pura ini.
Rasa saling hormat-menghormati keberagaman itu semakin terlihat saat perayaan hari besar. Saat Lebaran seperti ini misalnya. Mereka yang beragama lain di Kecamatan Senduro, sangat menghormati.
Mari kita simak penuturan Hisyam Faruq, warga Desa Kandangtepus, Kecamatan Senduro ini. Saat Lebaran, mereka yang Hindu juga menyediakan jajanan di rumahnya. Bahkan mereka saling bertamu dan menjalin hubungan silaturrahim. "Setelah salat Id, masyarakat saling bertamu. Masyarakat yang berbeda agama juga sebagai jujugan silaturrahim. Kita saling meminta maaf," papar Hisyam.
Bentuk toleransi itu, tidak hanya pada perayaan Lebaran. Saat ada pernikahan warga muslim misalnya. Walau dengan adat dan tata cara Islam, namun perayaan itu juga dihadiri oleh masyarakat agama lain, seperti Hindu dan Kristen.
Senduro memang heterogen. Di sana banyak warga beragama Islam, Hindu dan Kristen. Namun mereka tahu betul arti toleransi. Toleransi itu membuat mereka hidup bersama-sama dan saling menghormati satu sama lain.
Amalia Affandi Rahman, warga Desa/Kecamatan Senduro punya cerita lain.Gadis yang sejak kecil tinggal di Senduro itu tahu betul indahnya toleransi. Meski kesehariannya memakai kerudung, dia tidak rikuh saat berinteraksi dengan warga yang memiliki agama lain. "Saya berteman dengan semua warga. Baik-baik saja semuanya," papar gadis yang baru saja lulus SMA itu.
Kondisi yang hampir sama bisa dijumpai di Desa Pakel, Kecamatan Gucialit. Subi, Sekdes Pakel, Kecamata Gucialit menjelaskan, ada satu dusun di daerahnya yang mayoritas dihuni oleh warga beragaman Hindu. Tapi, mereka tetap bisa berdampingan dan rukun dengan warga yang beragama Islam. "Mereka berdampingan, rukun sekali," paparnya.
Bahkan, keragaman itu bisa terlihat di sekolah-sekolah saat adanya perayaan hari besar. Para siswa menganggap sudah biasa saat melihat ada siswa yang memakai udeng di kepala yang menyimbulkan agama Hindu.
"Benar, saat perayaan hari besar umat Hindu, banyak siswa yang memakai ikat kepala ke sekolah," paparnya.
Dijelaskan, selama ini, interaksi antar umat sangat baik. Saat Ramadan misalnya. Warga yang beragama Hindu sangat bisa menjaga diri. Mereka tidak makan dan merokok di depan umum, demi menghormati umat yang beragama Islam yang sedang berpuasa.
Begitu juga saat perayaan Nyepi. Warga yang beragama Islam cukup menghormati para umat Hindu dengan menutup warung yang ada di sekitar rumah umat Hindu.
0 Response to "Merasakan Indahnya Toleransi di Kampung Plural Senduro Lumajang"
Posting Komentar